Menata Nilai, Menenangkan Persepsi, dan Memulihkan Kepercayaan Publik
Rencana redenominasi Rupiah
2026–2030 menghadirkan peluang penyederhanaan sistem moneter Indonesia,namun
juga ancaman kegaduhan sosial-politik bila tidak dikelola dengan strategi
komunikasi dan regulasi yang matang.
Meski redenominasi bersifat
netral secara ekonomi, ia tidak netral secara psikologis dan tidak netral
secara politik. Karena itulah, pemerintah membutuhkan pendekatan yang tidak
sekadar teknokratis, tetapi juga humanis dan filosofis: membangun rasa aman,
bukan sekadar menata angka.
Policy brief ini menyajikan
analisis hambatan sosial-politik utama, dampak pada masyarakat menengah ke
bawah dan UMKM, serta langkah kebijakan yang diperlukan untuk menuntun bangsa
melewati proses ini dengan tenang dan terarah.
Redenominasi bukan penghapusan
nilai; ia adalah penyelarasan bahasa ekonomi. Seperti mengganti aksara dalam
buku sejarah bangsa, redenominasi menuntut masyarakat belajar membaca ulang
nilai uang dengan cara yang lebih ringkas, efisien, dan modern.
Namun setiap perubahan bahasa
selalu mengundang kecemasan.
Dan kecemasan adalah ruang yang
subur bagi politik.
Pengalaman negara lain
menunjukkan: ketika harga berubah bentuk (bukan substansinya), masyarakat
bergejolak lebih karena persepsi daripada kenyataan. Maka di Indonesia—negeri
tempat rumor berlari lebih cepat dari kebijakan—redenominasi harus direncanakan
dengan sensitivitas sosial yang tinggi.
Masalah Utama
1. Resistensi Politik dan Perang Narasi
Di parlemen, angka nol dapat
berubah menjadi alat retorika:
Tuduhan sanering terselubung,
Narasi bahwa “pemerintah sedang
menutupi masalah ekonomi,”
Penolakan dari fraksi yang
membutuhkan isu publik menjelang pemilu.
Redenominasi yang teknis dapat
berubah menjadi pertarungan simbolik.
2. Disinformasi dan Ketakutan Publik
Pada masyarakat:
“Saldo dipotong!”
“Harga naik semua!”
“Uang lama tidak berlaku dalam
sebulan!”
Tanpa tampilnya pemerintah
sebagai penenang kolektif, ketakutan ini akan menjadi inflasi psikologis.
3. Risiko Pembulatan Harga dan Tekanan Inflasi Mikro
Dalam ekonomi rakyat, pembulatan
harga oleh pedagang kecil berpotensi menciptakan inflasi mikro 0,5–3%.
Golongan menengah ke bawah yang
konsumtif-harian akan paling merasakan tekanan ini.
4. Beban Transisi bagi UMKM
UMKM harus:
ü
mencetak ulang daftar harga,
ü
menyesuaikan sistem kasir,
ü
merombak pembukuan,
ü
menghadapi protes pembeli yang bingung.
ü
Transisi tanpa pendampingan dapat melemahkan
sektor yang menopang 60% PDB nasional ini.
Analisis Inti: Redenominasi sebagai Perubahan Budaya
Redenominasi bukan sekadar kebijakan moneter. Ia adalah
transformasi budaya yang mengubah:
ü
cara masyarakat memaknai angka,
ü
cara pedagang membaca harga,
ü
cara pekerja menilai gaji,
ü
cara publik mempercayai negara.
Dalam filsafat nilai, angka bukan esensi, nilai manusialah
yang memberi makna pada angka. Namun masyarakat sering terbalik memahaminya:
angka dianggap lebih menentukan daripada tujuan kebijakan itu sendiri.
Karena itu, pemerintah tidak cukup hanya mengubah nominal
rupiah, pemerintah harus memandu transformasi persepsi kolektif.
Seperti guru yang mengajarkan kembali alfabet pada muridnya,
negara harus mengajarkan kembali tabel nilai baru pada rakyatnya,pelan, sabar,
dan terstruktur.
Opsi Kebijakan
1. Opsi A — Redenominasi Cepat (1–2 Tahun)
Karakter: cepat, tegas, disiplin tinggi
Keuntungan: efisiensi tinggi, biaya transisi lebih rendah
Risiko: resistensi publik tinggi, hoaks sulit dikendalikan,
UMKM panik
Opsi ini hanya layak dilakukan bila kondisi politik sangat
stabil, dan ini suatu situasi yang jarang terjadi.
2. Opsi B — Redenominasi Bertahap (3–5 Tahun)
Karakter: moderat dan berorientasi kestabilan sosial
Keuntungan:
ü
waktu sosialisasi cukup,
ü
UMKM dapat menyesuaikan sistem,
ü
masyarakat belajar bertahap.
ü
Risiko: biaya sosialisasi lebih tinggi, proses
politik berlarut.
ü
Ini adalah opsi paling masuk akal untuk konteks
Indonesia.
3. Opsi C — Redenominasi Adaptif Digital (Hybrid)
Karakter: fokus pada transaksi digital lebih dahulu
Keuntungan:
ü
adaptasi lebih mudah (angka otomatis berubah),
ü
literasi digital meningkat,
ü
pedagang tunai diberi waktu ekstra.
ü
Risiko: kesenjangan digital antarwilayah.
Opsi ini efektif bila pemerintah melihat digitalisasi
sebagai tulang punggung reformasi nilai.
Rekomendasi Utama
1. Bangun “Gerakan Edukasi Nilai” Nasional
Negara harus menjadi narator utama dalam perubahan ini.
Lakukan:
ü
kampanye publik multi-platform,
ü
animasi sederhana tentang harga lama vs harga
baru,
ü
pelatihan pedagang pasar,
ü
materi sekolah dan desa,
ü
FAQ besar
nasional yang tidak berbasa-basi.
Tujuannya bukan sekadar memberi informasi—tetapi memberi
ketenangan.
2. Keterlibatan Sejak Awal dengan DPR dan Parpol
Redenominasi harus diposisikan sebagai:
ü
langkah modernisasi moneter,
ü
bukan kebijakan politis,
ü
bukan kosmetik,
bukan upaya mengaburkan masalah ekonomi.
Pemerintah harus merangkul bukan hanya fraksi pendukung,
tetapi juga oposisi.
Karena oposisi yang paham akan menjadi oposisi yang tidak
menyebarkan kecemasan.
3. Demi UMKM, Wajib Ada Masa Transisi Ganda 3–5 Tahun
Termasuk:
ü
label harga dua versi,
ü
program bantuan desain ulang menu/tampilan
harga,
ü
dukungan adaptasi sistem kasir digital bagi UMKM
mikro,
ü
pendampingan akuntansi sederhana.
ü
Jangan bebani UMKM dengan prosedur yang berliku.
ü
Mereka adalah pihak yang paling mudah goyah,
tetapi juga yang paling cepat bangkit bila didukung negara.
4. Skenario Krisis Hoaks Harus Disiapkan
Buat Hoax War Room tingkat nasional:
ü
tanggapan 1 jam,
ü
kanal verifikasi harga nasional,
ü
pusat komando digital terpadu,
ü
kolaborasi dengan media dan platform.
ü
Hoaks harus dipotong sebelum ia tumbuh menjadi
ketakutan kolektif.
5. Prioritas Digitalisasi Sebelum Redenominasi
ü
Sebelum angka berubah secara fisik, ubahlah ia
secara digital terlebih dahulu.
ü
aplikasi pembayaran otomatis menyesuaikan angka,
ü
bank mengkonversi saldo secara simultan,
ü
marketplace menampilkan dua harga.
ü
Digitalisasi mengurangi beban mental masyarakat;
angka berubah “tanpa terasa”.
ü
Kesimpulan Filosofis: Redenominasi sebagai Seni
Menata Rasa Kolektif
ü
“Biaya paling mahal dalam perubahan bukanlah
uang, melainkan hilangnya rasa tenang.”
Redenominasi adalah uji kepercayaan publik terhadap negara.
Bila pemerintah mengelola proses ini dengan terbuka, sabar,
dan tidak defensif, redenominasi dapat menjadi simbol kematangan ekonomi dan
kedewasaan sosial bangsa.
Tetapi jika diabaikan, ia dapat berubah menjadi bara kecil
yang menyulut kegaduhan besar.
Pemerintah tidak sedang mengurangi nol pada uang—pemerintah
sedang membangun persamaan baru antara negara dan rakyatnya: persamaan yang
disandarkan pada kejelasan, bukan ketakutan; pada pemahaman, bukan asumsi.
Komentar
Posting Komentar