Ketika Lupa Menjadi Manusia
Dunia hari ini tampak seperti lansia yang tak hanya renta, tapi juga hamil tua. Tapi jangan salah sangka, ini bukan kehamilan yang dinanti-nanti. Bukan pula hasil cinta. Dunia tengah mengandung benih dari perkosaan ideologis, disemai oleh kerakusan, dan dibesarkan dalam rahim ketakutan massal. Sebuah generasi akan lahir darinya—bukan untuk membawa terang, tapi untuk mewarisi kegilaan spiritual yang tak lagi berakar pada nilai-nilai moral.
Yang paling menyakitkan bukanlah kenyataan itu sendiri, tapi bagaimana kita menyambutnya dengan riuh sorak sorai yang dibungkus dengan nama suci: agama. Yang dahulu diturunkan sebagai cahaya penuntun, kini diseret ke ruang lomba, dipertarungkan seperti layanan transportasi daring. Surga menjadi tujuan ekspres. Tak perlu amal, cukup serang yang berbeda. Tak perlu uang, cukup transfer ayat dan unggah sumpah serapah ke media sosial. Dan yang lebih menyedihkan lagi—semua merasa menjadi agen resmi Tuhan.
Dalam dunia yang seperti ini, saya bertanya dalam diam: apakah Tuhan ikut membaca kolom komentar?
Di tengah absurditas ini, kita menyaksikan mereka yang mengaku utusan kebenaran saling mengklaim surga, memonopoli jalan keselamatan, dan membungkam siapa pun yang bertanya. Bahkan keraguan, yang dalam sejarah agama pernah menjadi pintu pengetahuan, kini dianggap sesat. Agama bukan lagi rumah bagi pencari, tapi tribunal bagi tertuduh.
Yang tersisa dari agama kini hanyalah prosedur: waktu ibadah, seragam keimanan, tata cara doa. Tapi ketika ditanya, "Apa kabar Tuhan?"—tidak ada yang bisa menjawab. Mungkin karena dalam keheningan yang panjang itu, Tuhan telah digantikan. Bukan oleh berhala atau sapi emas, tapi oleh ego kolektif yang berbicara dengan suara yang seolah berasal dari langit.
Saya semakin yakin: kita tak sedang menjalani krisis iman, tapi krisis tafsir. Agama, yang seharusnya membebaskan, justru membelenggu. Yang seharusnya merangkul, malah mencurigai. Yang mestinya membawa ke atas, malah dijadikan alat tarik-menarik kuasa di bawah.
Dari sini muncul gagasan tentang Nabi Darurat—sebuah refleksi, bukan sebuah tokoh. Bukan nabi baru dengan wahyu langit, tapi suara kecil yang membawa cermin. Ia datang bukan untuk menyampaikan ajaran baru, tapi untuk mengajak kita memeriksa ulang wajah kita sendiri—apakah kerutannya karena lelah mencinta, atau karena terlalu lama menyimpan amarah?
Mungkin kita tak butuh nabi dalam pengertian lama. Mungkin yang kita butuhkan adalah kehadiran-kehadiran kecil yang tulus: petani yang berbagi tanpa peduli agama penerima, guru yang mengajar dengan kasih, atau anak muda yang berani bertanya bukan untuk membantah, tapi untuk mengerti. Mungkin suara Tuhan hari ini tak bergema dari mimbar atau kanal YouTube, tapi dari bisikan nurani yang nyaris tenggelam oleh pekikan dalil.
Dalam keadaan seperti ini, saya belajar bahwa membela kebaikan tak selalu berarti mengutip kitab. Kadang, membela kebaikan justru berarti diam saat orang sibuk berteriak atas nama Tuhan. Atau berjalan pelan menjemput mereka yang tersingkirkan karena tak lulus sensor mazhab.
Karena sejatinya, agama bukan pagar yang mengurung, tapi taman yang menumbuhkan. Dan selama masih ada manusia yang ditindas atas nama Tuhan, maka tugas kita—entah kita siapa—belum selesai. Entah lewat tulisan, pelukan, atau sekadar mendengar dengan tulus, kita semua punya peran dalam membongkar tembok yang menutup wajah cinta-Nya.
Saya tak tahu apakah Nabi Darurat benar-benar ada. Tapi saya yakin, dunia hari ini sedang memanggilnya—dalam bisu yang pilu.
Komentar
Posting Komentar