Ia hanya berganti wajah dengan suara lembut yang membuai
“Iblis tidak pernah mati, ia hanya berganti wajah, kadang jadi penguasa, kadang jadi saudagar, kadang jadi suara lembut yang membuai.”
Bayangkan sebuah kitab suci yang biasanya dianggap berisi doa menyejukkan dan aturan hidup penuh kesalehan, tiba-tiba membuka halaman rahasia, bocoran strategi iblis. Ironi terbesar bukanlah karena setan menulis manualnya, melainkan Tuhan sendiri yang menyingkapnya. Seolah kitab itu berbisik: 'Inilah cara setan bekerja, waspadalah, atau jangan-jangan kau tergoda untuk menirunya.' Sebuah manual intelijen ilahi, ditaruh begitu saja di depan mata manusia. Pertanyaannya, untuk apa? Supaya kita mengenali tipu daya? Atau supaya kita tahu bahwa para pejabat yang berlagak suci di podium sebenarnya sedang membaca naskah yang sama dengan iblis,bedanya hanya panggungnya?
Strategi pertama: suara. Suara, yang tampak lembut dan tak berbahaya, justru menjadi senjata paling kuno sekaligus paling mematikan. Pedang bisa melukai daging, tapi suara menembus telinga, bersarang di kepala, lalu menguasai hati. Dari situ lahir barisan massa, tepuk tangan meriah, bahkan sumpah setia. Apa bedanya pidato politik yang penuh janji dengan mantra iblis yang penuh tipu daya? Keduanya memabukkan, membuat rakyat percaya bahwa masa depan bisa dijamin hanya dengan intonasi yang mantap. Kini suara bukan lagi genta logam, melainkan mikrofon, kamera, dan algoritma media sosial. Diulang-ulang hingga janji palsu melekat seperti iklan deterjen di otak kita.
Tidak cukup dengan suara, datanglah pasukan. Kitab itu menyebut 'pasukan berkuda dan pejalan kaki'. Gambaran padang pasir? Mungkin. Namun maknanya jauh lebih universal: kekuatan koersif. Di era modern, pasukan berkuda berubah menjadi tank, aparat bersenjata, dan iring-iringan motor besar dengan sirene yang meraung lebih nyaring daripada suara hati rakyat. Pasukan pejalan kaki menjelma ormas jalanan, preman bayaran, atau buzzer yang sabar mengintimidasi lewat komentar maya. Fungsi mereka sama: menciptakan rasa takut agar rakyat lebih patuh daripada kambing diikat tambang. Lucunya, pasukan itu sering dipakai untuk pamer, konvoi gagah yang sebenarnya lebih teatrikal daripada efektif. Sebuah sandiwara kekuasaan, agar rakyat selalu ingat siapa yang memegang tongkat komando.
Setelah telinga ditaklukkan suara dan tubuh dibungkam pasukan, kini nadi kehidupan disasar: harta dan anak-anak. Dua titik paling rapuh, sekaligus paling vital. Harta adalah perut, anak-anak adalah masa depan. Siapa menguasainya, menguasai hari ini sekaligus besok. Harta rakyat dihisap lewat pajak, harga bahan pokok, dan korupsi yang konsisten lebih konsisten daripada ibadah wajib. Anak-anak pun dijinakkan lewat pendidikan yang penuh hafalan, miskin keberanian berpikir. Mereka dibentuk bukan untuk merdeka, melainkan untuk patuh. Universitas jadi pabrik ijazah, bukan laboratorium gagasan. Anak-anak sejak dini diarahkan menjadi konsumen: mainan pabrikan, tontonan televisi, layar gawai. Kolonialisasi paling halus bukan lagi datang dengan senapan, melainkan dengan kurikulum dan iklan.
Senjata pamungkas: janji. Murah diucapkan, mahal ongkosnya ketika rakyat percaya. Janji politik adalah kembang gula: manis sesaat, lengket lama. Dari janji pembangunan hingga janji pemerataan, semuanya terdengar indah di baliho, khutbah politik, atau doa bersama. Namun begitu diuji realitas, janji itu berubah jadi alasan klise: kondisi global, anggaran terbatas, belum waktunya. Janji kosong adalah fatamorgana yang membuat rakyat terus berjalan meski ujung jalan hanyalah jurang. Ironinya, rakyat bukan sekadar korban, tapi juga penikmat. Kita marah sesaat, lalu kembali percaya saat janji baru dilempar. Janji kosong akhirnya menjadi candu kolektif, membuat kita rela ditipu berkali-kali dengan wajah penuh harapan.
Namun kitab itu menutup dengan kalimat dingin sekaligus membebaskan: 'Sesungguhnya atas hamba-hamba-Ku engkau tidak punya kekuasaan.' Sebuah deklarasi bahwa selalu ada manusia yang tak bisa dibeli, ditakut-takuti, atau ditipu. Mereka mungkin petani yang menolak tanahnya digusur, buruh yang tetap bersuara meski ancaman PHK di depan mata, atau mahasiswa yang menulis kritik dengan risiko penjara. Mereka tidak punya pasukan, tidak punya panggung, hanya keras kepala. Tapi keras kepala inilah bentuk kebebasan sejati. Mereka adalah lilin kecil di tengah kegelapan, cukup untuk menunjukkan bahwa tipu daya tidak pernah bisa menguasai segalanya. Ironi terbesar: meski strategi iblis diturunkan dengan detail, selalu ada yang menolak tunduk. Dan mungkin di situlah letak harapan manusia.
Jika strategi iblis ternyata begitu mirip dengan strategi politik dan kekuasaan manusia, maka mungkin masalahnya bukan pada setan yang terlalu pintar, melainkan pada manusia yang terlalu suka meniru. Janji palsu, pasukan intimidatif, manipulasi suara, eksploitasi harta dan anak,semua itu bukan lagi sekadar teori kitab, melainkan berita harian. Ironinya, kita lebih takut disebut melawan pemerintah daripada disebut pengikut iblis. Barangkali perbedaan antara iblis dan manusia modern hanyalah seragam yang dipakai, iblis tidak butuh jas, dasi, atau gelar akademik. Namun substansi perilaku sering kali tak jauh berbeda. Pertanyaannya,apakah kita masih mau menyalahkan iblis, atau sebaiknya bercermin lebih lama pada wajah sendiri?
Komentar
Posting Komentar