Ironi Rasa Takut

 

Orang sering mengutip ayat indah: 'dengan mengingat Tuhan hati menjadi tenang'. Namun ketika kita keliling kampung, wajah yang benar-benar tentram justru kadang bukan milik orang yang rajin sembahyang, melainkan bapak-bapak pos ronda yang main gaple sambil menyeruput kopi. Ironi kecil: seolah ketenangan lebih mudah ditemukan di papan gaple ketimbang di sajadah. Maka bertuhan pun sering jatuh ke dalam formalitas—indah untuk dipamerkan, tapi tak pernah dipakai menopang kursi goyang kehidupan yang rapuh.

Tuhan akhirnya lebih mirip pajangan kristal di lemari kaca batin. Dilihat bikin bangga, tapi tak pernah dipakai untuk menopang punggung yang pegal. Doa pun menjadi upacara bibir belaka, sementara rasa takut tetap disimpan rapi dalam laci dada. Kita memanggil nama Tuhan, tetapi tetap menenteng beban, seakan-akan Tuhan hanyalah figur dekoratif yang tak layak diberi peran. Padahal logikanya sederhana: jika ada truk raksasa siap mengangkut karung batu, kenapa kita masih ngotot memikulnya sendiri?

Manusia hidup dengan rasa takut yang berlapis-lapis. Takut anak tak bisa sekolah, takut kerja hilang, takut uang habis, takut dipermalukan tetangga, bahkan takut mati padahal setiap hari menyebut-nyebut surga. Hidup kita seperti drama tanpa iklan: dari pagi takut telat kerja, siang takut gagal bayar utang, malam takut nasib esok lebih buruk. Seperti ponsel jadul dipaksa membuka aplikasi berat, jiwa kita pun panas dan error, tetapi masih saja kita berkata, 'aku kuat'. Nyatanya, setangguh tahu bulat: panas sebentar, lalu hancur.

Ironinya, kita menganggap diri makhluk modern. Punya teknologi, ilmu, dan logika. Namun sedikit saja anak demam, kita panik bukan karena sakitnya, melainkan karena gosip tetangga: 'ibunya tak becus merawat'. Maka jelas, yang membebani bukan hanya masalah hidup, melainkan juga siksaan sosial. Hidup pun menjadi lingkaran cemas tanpa ujung: kalau sehat takut sakit, kalau sakit takut mati, kalau berhasil takut gagal, kalau gagal takut malu.

Bertuhan, mestinya, adalah ventilasi jiwa. Tempat kita menaruh ketakutan tanpa harus menyembunyikannya di laci dada. Tetapi apa yang terjadi? Banyak orang menjadikan Tuhan bukan ventilasi, melainkan palu hakim. Agama direduksi jadi sederet larangan dan ancaman, hingga bukannya lega, justru makin sesak. Seperti orang yang punya pelabuhan luas tapi memilih tenggelam di perahu bocor hanya demi merasa 'mandiri'.

Padahal tawakal bukan berarti pasrah bodoh. Tawakal adalah kontrak cerdas: usaha kita lakukan, hasilnya kita titipkan pada yang Maha Kuat. Bayangkan orang berjalan terseok membawa galon air 15 liter, lalu ada kuda lewat yang siap menanggung beban. Kalau masih ngotot memikul sendiri, jangan salahkan pundak yang patah. Begitulah manusia: terlalu gengsi untuk menaruh beban pada Tuhan, padahal Dia sudah menyiapkan punggung-Nya yang tak terbatas.

Optimisme orang beriman pun seharusnya bukan optimisme ala motivator murahan: 'kamu pasti bisa' meski dompet kosong. Optimisme orang beriman berakar pada kalimat kun fayakun—jika Tuhan menghendaki, maka jadilah. Kata 'tidak mungkin' yang begitu sakral di logika manusia ternyata cuma lelucon kecil di hadapan Tuhan. Semesta yang dulu tiada pun bisa tercipta; lalu kenapa kita masih minder soal rezeki dan jalan hidup?

Saya pernah melihat orang yang miskin, sakit-sakitan, dan nyaris mustahil bertahan. Namun ia tetap tersenyum sembari berkata: 'Gusti Allah sing ngatur'. Anehnya, hidupnya perlahan berubah, seakan semesta menata ulang jalannya. Sementara banyak orang lain yang merasa pintar, kuat, dan punya koneksi justru runtuh karena terlalu sibuk mengandalkan dirinya sendiri. Ironi ini lagi-lagi menampar: terkadang yang terlihat lemah justru benar-benar kuat, karena mereka tahu di mana meletakkan beban.

Esensi bertuhan itu sederhana: meletakkan beban pada yang seharusnya menanggung. Masalah tidak hilang, tetapi kita tidak lagi sendirian. Bertuhan bukan berarti hidup tanpa sakit, miskin, atau duka. Semua itu tetap ada, hanya saja kita punya pelabuhan untuk berlabuh, punya bahu untuk bersandar. Bayangkan membawa galon berat di pundak lalu menaruhnya di punggung kuda. Galonnya masih ada, tapi pundak kita lega. Begitulah bertuhan.

Namun sayangnya, banyak yang membalik makna. Tuhan dijadikan daftar panjang kesalahan, bukan ruang lega. Agama dijadikan seragam harian, bukan perlindungan. Maka jangan heran bila banyak orang yang rajin ritual justru semakin gelisah, semakin sesak. Padahal bila jujur, bertuhan mestinya bukan soal menambah beban, melainkan soal membebaskan. Kalau hidup masih terasa berat, mungkin bukan karena beban terlalu besar, melainkan karena kita lupa: bertuhan itu seharusnya membuat ringan, bukan tambah susah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Evolusi Sakralitas Pemakaman

Kondisi Bumi Masa Depan - Analisis ,Proyeksi, Tantangan, dan Potensi Masa Depan

Sistem Bumi, Peradaban Manusia & Biosfer: Proyeksi 20 kedepan