Layu di Taman Retak

 

“Negeri ini sering menjanjikan matahari, tapi yang jatuh ke tanah hanyalah bayangan,dingin, panjang, dan samar tanpa cahaya.”

 

Hidup manusia selalu dibungkus oleh harapan,ada yang lahir dari cita-cita pribadi, ada pula yang ditanamkan oleh negeri yang katanya “berdaulat.” Kita tumbuh dengan cerita bahwa pendidikan adalah jalan menuju kebebasan, kerja keras adalah tangga menuju kesejahteraan, dan demokrasi adalah jaminan bahwa suara rakyat tak akan dipelintir oleh kursi kekuasaan.

Namun kenyataan bagai hujan yang jatuh di tanah tandus: suara rakyat terserap tanpa bekas, cita-cita kering bahkan sebelum sempat berakar. Pemegang kuasaan, alih-alih menjadi payung bagi mereka yang basah kuyup, justru sibuk menjual payung itu ke pasar kekuasaan.

Kegagalan bukan hanya milik individu yang tersandung di jalan hidupnya. Kegagalan juga bisa menjadi milik bangsa,sebuah kegagalan kolektif yang diturunkan dari generasi ke generasi. Anak muda berjuang dengan cita-cita, tetapi di hadapan birokrasi yang berkarat, semangat mereka hanyalah obor kecil yang mudah dipadamkan.

Ironisnya, kegagalan pribadi sering dianggap kelemahan individu. Padahal, bagaimana mungkin seseorang bisa berlari ketika tanah di bawah kakinya selalu longsor? Bagaimana mungkin seorang pemuda memanjat mimpi ketika tangga sosial sudah keropos dimakan rayap korupsi?

Cita-cita jelata sering ibarat rumput liar yang tumbuh di retakan aspal. Ia keras kepala, mencoba tumbuh di ruang yang sempit, namun setiap kali matahari mulai memberi harapan, roda kendaraan kekuasaan melindasnya tanpa ampun.

Betapa sering kita mendengar janji tentang masa depan cerah, pendidikan murah, lapangan kerja luas, kesehatan untuk semua. Tetapi janji-janji itu tak lebih dari brosur yang dibagikan saat kampanye—indah di kertas, busuk dalam kenyataan. Cita-cita rakyat diperlakukan sebagai dekorasi politik, bukan sesuatu yang sungguh-sungguh dirawat.

Harapan rakyat ibarat perahu kecil yang ditambatkan di dermaga janji. Tetapi setiap kali layar hendak dikembangkan, angin kebijakan justru datang dari arah yang salah. Pemegang kuasa berbicara tentang pembangunan, tapi jalan menuju desa masih berlumpur. Mereka bicara tentang kesejahteraan, tapi harga beras naik lebih cepat daripada gaji.

Harapan akhirnya menjadi komoditas. Ia diperjualbelikan dalam rapat-rapat elit, dilelang dalam proyek-proyek pembangunan yang tak pernah selesai. Harapan rakyat bukan lagi sesuatu yang suci, melainkan mata uang yang ditukar dengan kursi, dengan kontrak, dengan kepentingan jangka pendek.

Kehidupan manusia di negeri yang abai pada rakyatnya sering terasa seperti berjalan dalam labirin. Setiap belokan menjanjikan jalan keluar, tetapi ujungnya hanyalah tembok tinggi. Birokrasi yang berbelit adalah dinding-dinding itu, hukum yang tumpul adalah tikungan buntu, sementara keadilan hanya sebatas papan petunjuk yang berdebu.

Di tengah labirin itu, rakyat hanya bisa berjalan lingkaran demi lingkaran, kelelahan tanpa pernah melihat cahaya di ujung jalan. Ironi terbesar adalah ketika penguasa berdiri di menara labirin itu, memberi pidato tentang “kemajuan,” sementara rakyat di bawah bahkan tak tahu di mana pintu keluarnya.

Ada satu hal yang menyakitkan lebih dari sekadar kemiskinan: perasaan diabaikan. Rakyat miskin tidak hanya lapar akan makanan, mereka juga lapar akan perhatian. Tetapi Pemegang kuasa sering kali memilih menjadi tuli. Jeritan rakyat tenggelam dalam bisingnya pesta politik, dalam dentuman musik kampanye, dalam deru mobil-mobil mewah yang melintasi jalan sempit.

Rakyat yang menunggu jawaban dipaksa untuk menunggu lebih lama, sementara perut mereka keroncongan dan cita-cita anak mereka terhenti di depan gerbang sekolah. Negara yang seharusnya jadi rumah bersama, berubah menjadi hotel mewah—hanya ramah bagi mereka yang mampu membayar.

Dalam kondisi seperti ini, kehidupan rakyat tak lebih dari pertunjukan ironi. Seorang petani yang menanam padi justru tak mampu membeli beras. Seorang nelayan yang setiap hari melaut justru menjerit karena harga solar. Seorang buruh yang memeras keringat justru terjebak dalam utang untuk sekadar membiayai hidup.

Di sisi lain, para penguasa dengan mudah memamerkan gaya hidup mewah, seperti aktor yang memainkan peran yang tak ada hubungannya dengan realitas rakyat. Ironi itu begitu telanjang, tetapi entah mengapa kita diajarkan untuk menutup mata.

Meski demikian, ada sesuatu yang ajaib dari manusia: mereka tidak pernah benar-benar berhenti berharap. Jelata tetap berjuang, meski dengan cara sederhana. Mereka bangun setiap pagi, pergi ke ladang, ke pasar, ke pabrik, dengan keyakinan rapuh bahwa hari esok akan sedikit lebih baik.

Harapan ini sering diremehkan, dianggap naif. Namun justru di situlah letak kebesaran manusia: kemampuan untuk tetap menyalakan lilin, meski badai terus memadamkannya. Kegagalan bisa menjadi kenyataan sehari-hari, tetapi harapan adalah kekuatan rahasia yang membuat manusia tetap berdiri.

Pertanyaan filosofis pun muncul: Apakah harapan itu milik rakyat, atau milik penguasa yang pandai memanipulasinya? Apakah cita-cita lahir dari dalam hati manusia, atau dari propaganda yang dipaksakan melalui slogan negara?

Kita diajarkan untuk bermimpi besar, tetapi selalu dalam kerangka yang ditentukan. Bermimpi boleh, asal tidak mengganggu kepentingan. Berharap boleh, asal tidak menuntut perubahan yang terlalu nyata. Pada akhirnya, harapan bukan lagi kebebasan, melainkan tali kendali yang halus.

Hidup di bawah Pemegang kuasaan yang tak berpihak pada rakyat adalah hidup di tengah reruntuhan. Kegagalan, cita-cita yang layu, harapan yang digadaikan—semuanya adalah puing-puing yang berserakan di jalan. Namun, di antara puing-puing itu, manusia masih mencari cahaya.

Bukan penutup, melainkan pengingat, rakyat tidak pernah benar-benar mati dalam keputusasaan. Selama masih ada satu anak kecil yang berani bermimpi, selama masih ada satu ibu yang berdoa untuk masa depan anaknya, selama masih ada seorang ayah yang bekerja meski gajinya tak seberapa, maka harapan tetap hidup.

Mungkin Pemegang kuasa telah berpaling, tetapi sejarah selalu berpihak pada mereka yang bertahan. Pada akhirnya, kehidupan rakyat adalah bukti paling filosofis, bahwa bahkan dalam kegelapan, cahaya bisa lahir dari keberanian untuk tetap bermimpi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Evolusi Sakralitas Pemakaman

Kondisi Bumi Masa Depan - Analisis ,Proyeksi, Tantangan, dan Potensi Masa Depan

Sistem Bumi, Peradaban Manusia & Biosfer: Proyeksi 20 kedepan