Mesin Eksploitasi yang Disamarkan dengan Administrasi
Kekayaan yang Menjadi Kutukan
Nusantara
kerap dipuji sebagai tanah surga: rempah-rempah berlimpah, tanah subur, dan
iklim tropis yang menjanjikan panen hampir sepanjang tahun. Namun, sejarah
membuktikan bahwa kekayaan ini lebih mirip kutukan. Alih-alih menjadi pondasi
kemakmuran rakyatnya, ia justru menjadi magnet bagi kekuatan asing yang pandai
mengubah hasil bumi menjadi sumber penderitaan. Ironinya, senjata utama
penjajahan bukanlah meriam, melainkan pena birokrasi yang mencatat kewajiban
pajak.
Sistem pajak kolonial lebih menyerupai mesin penghisap yang didesain untuk
melahap hasil bumi tanpa belas kasih. Tidak ada roda gigi atau piston, tetapi
aturan, kontrak, dan perjanjian sepihak yang diteken dengan dalih persahabatan.
Betapa efisiennya: tanpa perlu perang panjang, rakyat dipaksa “sukarela”
menyerahkan hasil panen mereka.
VOC dan Kecerdikan Administrasi
VOC, yang dalam dokumen resmi disebut sekadar kongsi dagang, pada kenyataannya adalah negara mini dengan tentara pribadi. Mereka terlalu sedikit jumlahnya untuk menaklukkan Jawa secara langsung, maka strategi mereka sederhana sekaligus brilian: menyusup. Para penguasa lokal didekati, diberi iming-iming perlindungan, lalu perlahan dijerat kontrak yang menyelipkan kewajiban setoran.
Konsep contingenten dan verplichte leverantien menjadi dua instrumen pajak paling efektif. Bayaran bukan berupa uang—karena memang belum relevan bagi pedalaman Jawa—melainkan beras, gula, atau lada dalam jumlah tertentu. Harganya? Tentu saja ditentukan sepihak oleh VOC. Kalau itu disebut “perdagangan,” maka barangkali perampokan pun pantas mendapat label “negosiasi harga.”
Mahakarya Eksploitasi
Abad
ke-19 menghadirkan karya besar Johannes van den Bosch: Cultuurstelsel. Nama
indah itu—sistem budidaya—mungkin terdengar seperti kebijakan agraria
progresif, padahal ia adalah puncak kreativitas dalam memeras rakyat. Setiap
desa diwajibkan menyisihkan seperlima tanahnya untuk tanaman ekspor: kopi,
gula, nila. Tetapi dalam praktiknya, yang diambil bukan seperlima, melainkan
tanah terbaik, sering kali hingga separuh.
Tidak cukup sampai di situ. Jika tanah tidak memadai, rakyat diwajibkan
mengganti dengan kerja paksa selama 66 hari per tahun. Aturan di atas kertas
tampak rapi, tetapi di lapangan ia menjelma kerja rodi tanpa batas. Dan tentu
saja, seluruh hasil panen dari tanah paksa itu diserahkan kepada pemerintah
kolonial. Bila gagal panen, rakyat tetap harus membayar dengan menjual harta
terakhir mereka, bahkan diri mereka sendiri. Ironi ini begitu terang: pajak
dibayar bukan dengan uang, melainkan dengan kelaparan massal.
Keuntungan yang diraih Belanda fantastis: 781 juta gulden dalam kurun empat
dekade. Di Amsterdam, uang itu berubah menjadi kanal, istana, dan infrastruktur
modern. Di Jawa, keuntungan yang sama diterjemahkan menjadi ubi hutan beracun
di meja makan dan kuburan massal di Cirebon maupun Grobogan. Jika itu bukan
definisi ketimpangan, lalu apa?
Dari Cambuk ke Bunga Berbunga
Protes kaum liberal di Belanda akhirnya membongkar sistem tanam paksa. Tetapi jangan salah sangka, itu bukan akhir eksploitasi, melainkan sekadar pergantian mesin. Dari mesin kasar yang berisik, ke mesin baru yang lebih halus, lebih “modern,” dan tentu saja lebih sinis: kapitalisme swasta.
Undang-Undang Agraria 1870 memberi kesempatan luas bagi pengusaha Eropa menyewa tanah rakyat. Pajak pun berevolusi menjadi pungutan uang tunai. Petani kini dipaksa membayar dengan mata uang kolonial—suatu instrumen yang bahkan tidak mereka kuasai. Ironisnya, untuk membayar pajak, mereka terpaksa berutang kepada tengkulak dan rentenir dengan bunga mencekik. Eksploitasi pun naik kelas: dari cambuk yang menyakitkan tubuh ke bunga berbunga yang melumpuhkan generasi.
Gula pada Racun
Awal abad ke-20 menghadirkan politik etis, yang diklaim sebagai koreksi moral atas masa lalu. Irigasi, edukasi, emigrasi—tiga kata indah yang seharusnya membawa pencerahan. Namun, fakta lapangan justru mengungkap ironi lain. Pajak tanah tetap mencekik, beban fiskal sering kali melebihi 40% dari pendapatan petani. Pendidikan pun, alih-alih membebaskan, justru menjadikan rakyat lebih patuh dalam membaca dan menandatangani surat tagihan pajak.
Maka politik etis tidak lebih dari lapisan gula tipis di atas kopi pahit yang penuh racun. Ia mungkin mempercantik wajah kolonialisme, tetapi gigi taringnya tetap sama tajamnya.
Trauma yang Bertahan
Ketika Sang Saka Merah Putih akhirnya berkibar, belenggu kolonialisme formal memang runtuh. Tetapi bisakah bangsa yang lahir dari rahim eksploitasi begitu saja menghapus DNA ekonominya? Jawabannya: tidak. Birokrasi pajak yang rumit, bahasa hukum yang berbelit, serta mentalitas aparat yang memandang rakyat sebagai objek pungutan bukanlah ciptaan baru. Ia hanyalah adaptasi dari sistem lama.
Trauma kolektif pun lahir: pajak dipandang bukan sebagai kewajiban konstitusional, melainkan sebagai bentuk upeti pada penguasa yang tidak dipercaya. Hingga hari ini, pemerintah masih berjuang keras membangun kesadaran pajak sukarela. Masalahnya, yang mereka hadapi bukan sekadar kebodohan atau ketidakpedulian, melainkan memori panjang tentang tanam paksa, kerja rodi, dan jurusita yang menyita kerbau terakhir seorang petani.
Pajak
kolonial adalah contoh bagaimana instrumen ekonomi dapat menjadi senjata
penindasan yang lebih ampuh dari bedil. Ia menorehkan luka yang tidak sekadar
historis, melainkan struktural. Ironinya, banyak warisan itu masih hidup hingga
kini, bersembunyi dalam formulir, regulasi, dan birokrasi yang kita hadapi
setiap tahun ketika musim pajak tiba.
Dengan demikian, sejarah ini bukan sekadar kisah lampau. Ia adalah cermin getir
yang menyingkap ironi: bahwa dalam setiap sistem perpajakan modern kita, masih
bergema bisikan administrator kolonial yang dahulu menjadikan pajak bukan alat
pembangunan, melainkan mesin pemerasan.
Komentar
Posting Komentar