Di Tanah Syiurga
Di Tanah surga yang katanya tongkat kayu dan batu pun bisa tumbuh jadi tanaman, gema dari menara-menara doa bersahut-sahutan seperti kabut yang tak pernah surut, menyelimuti gang sempit hingga gedung-gedung angkuh pencakar awan. Jadwal ceramah lebih padat dari rapat kabinet, dan seruan suci lebih gegap gempita daripada jerit keadilan.
Tanah ini sering disebut sebagai negeri paling beriman, tempat berjuta jiwa mengangkat tangan ke langit. Tak hanya Jalan Cahaya, tapi juga lorong-lorong kepercayaan lain berdetak di dalamnya. Tapi lihatlah, semakin tinggi menara dibangun, semakin dalam luka sosial menganga. Mereka berkata tanah ini penuh berkah, tapi datanya lebih jujur dari doa, korupsi jadi budaya, kemiskinan jadi warisan, dan keadilan? Ia bagai hantu yang hanya muncul di pidato kampanye.
Di negeri ini, doa tak kurang, dzikir melimpah, dan ibadah tak pernah henti. Tapi kenapa kebenaran justru menjadi tamu yang paling jarang diundang? Seolah Langit telah ditarik paksa ke ruang sidang, diseret duduk sebagai saksi palsu para penguasa.
Jalan Cahaya, katanya, berasal dari Langit Timur. Dan setiap dalil harus diucap dengan aksen langit itu, seakan Tuhan hanya paham satu bahasa. Mereka lupa bahwa kebijaksanaan tidak beraksara, dan kebenaran tidak lahir dari fonetik, tapi dari keberpihakan pada yang terinjak.
Mereka bangun rumah ibadah seperti membangun kerajaan marmer, tapi di dalamnya kosong dari keadilan dan keberanian. Mereka menjadikan kitab sebagai ornamennya, tapi tak ada satu pun ayat yang membekas di perilaku. Lalu mereka bertanya kenapa berkah tak turun? Karena berkah tidak lahir dari volume doa, tapi dari keberanian membela mereka yang dirampas haknya.
Di Tanah surga, simbol kepercayaan dipajang di setiap ruang, seperti etalase yang dijejali produk diskon. Tapi di bawahnya, manusia saling memangsa dengan wajah bersolek keagamaan. Mereka sibuk menghitung jumlah penghafal kitab, tapi melupakan bahwa kitab itu menuntut integritas, bukan hanya memori.
Jalan Cahaya telah berubah. Ia tak lagi sebuah arah menuju kebijaksanaan, tapi papan iklan raksasa tempat para penceramah menjadi selebritas, para pemuka menjadi juru jual, dan naskah suci dijadikan brosur partai. Ia bukan lagi nyala dalam hati, tapi kosmetik dalam citra.
Mereka menyebut siapa pun yang bertanya sebagai penghujat, siapa pun yang kritis sebagai duri. Tapi bukankah duri adalah tanda bahwa batang itu masih hidup? Justru yang tak punya duri, mungkin sudah mati dari akar.
Dan inilah yang menyakitkan, kita hidup di zaman simbol, tapi kehilangan substansi. Jalan Cahaya jadi parade, bukan perjalanan. Ia disembah, tapi tidak ditegakkan. Ia dijaga jasadnya, tapi dikhianati jiwanya. Kita tidak kekurangan agama, kita kelebihan topeng.
Negeri-negeri lain, yang tak mengaku sebagai pengikut Jalan Cahaya, justru hidup dengan nilai-nilainya. Tak ada sorban, tak ada salam suci, tapi kejujuran berjalan di trotoar, hukum duduk sejajar, dan kemanusiaan menjadi bahasa ibu.
Mungkin Jalan Cahaya sudah muak dengan kebisingan ini. Ia tak mau lagi tinggal di Tanah surga yang penuh dengan kebohongan berjubah doa. Mungkin ia kini memilih hidup di tempat sunyi, di mana nilai lebih berarti dari nama, di mana cahaya tidak diteriakkan tapi diam-diam menerangi.
Komentar
Posting Komentar