Guru dengan Wajah Menyebalkan
“Kesuksesan sering menipu, tetapi kegagalan hampir selalu jujur. Ia datang tanpa topeng, tanpa basa-basi, membawa kenyataan sekeras batu yang dilemparkan ke wajah kita.”
Pertemuan Pertama dengan Guru yang Kejam
Kegagalan adalah guru pertama yang kita temui begitu berani
mencoba. Ia tidak pernah mengundang kita duduk di bangku sekolah, tetapi
tiba-tiba saja sudah berdiri di depan kelas, menatap tajam, seakan berkata, “Belajar dariku, atau hancur olehku.”
Sayangnya, tidak ada yang suka belajar dari guru yang satu ini. Wajahnya kusut,
suaranya keras, metodenya penuh luka. Jika keberhasilan datang dengan senyuman
manis dan tepukan hangat di bahu, maka kegagalan datang dengan cambuk di
tangan. Ironisnya, justru guru yang paling dibenci inilah yang paling jujur.
Kita sering membayangkan hidup sebagai jalan lurus menuju cita-cita. Namun,
kenyataannya penuh lubang, jalan buntu, dan jurang yang tiba-tiba menganga. Dan
di setiap tersandung, kegagalan sudah menunggu di sana. Ia mengangkat kita
dengan kasar, lalu berbisik dingin: “Sekarang kau tahu, bukan?”
Mengapa Kegagalan Lebih Jujur dari Kesuksesan
Kesuksesan sering kali seperti pesta. Musik keras, lampu
berkilau, banyak tepuk tangan. Tetapi semua itu bisa menipu; kadang pesta hanya
menyembunyikan kehampaan. Kesuksesan sering datang karena keberuntungan, karena
koneksi, atau sekadar karena orang lain gagal lebih dulu.
Sementara kegagalan—ah, ia tidak pernah berpura-pura. Ia tidak pernah menutupi
kebenaran. Jika kita gagal, berarti ada sesuatu yang salah: entah salah
strategi, salah waktu, salah langkah, atau salah menilai diri sendiri.
Kegagalan adalah cermin yang retak, yang membuat kita melihat wajah kita dalam
potongan-potongan aneh—tetapi setidaknya jujur.
Ironinya, masyarakat kita terlalu sibuk memuja kesuksesan, padahal justru
kegagalanlah yang mengajarkan lebih banyak hal. Anak yang jatuh saat belajar
berjalan tidak dipuji karena jatuh, tetapi justru dari jatuh itulah ia belajar
keseimbangan. Sayangnya, begitu dewasa, kita lupa cara sederhana itu. Kita
mulai menganggap kegagalan sebagai aib yang harus disembunyikan, bukan guru
yang harus dihormati.
Obsesi Masyarakat pada Kemenangan Palsu
Hidup modern penuh dengan obsesi pada kesuksesan instan.
Buku motivasi, seminar, iklan televisi, semuanya menjual mimpi manis: “Jika kau
mau, kau bisa.” Kalimat itu terdengar inspiratif, tetapi juga sangat menipu.
Sebab, tidak semua yang ingin pasti bisa, dan tidak semua usaha berakhir indah.
Ironinya, masyarakat kita justru lebih suka hidup dalam kebohongan manis
ketimbang menghadapi kebenaran pahit. Orang lebih senang mendengar kisah sukses
pengusaha muda ketimbang kisah seribu orang lain yang gagal bangkrut di jalan
yang sama. Pemerintah lebih suka menayangkan iklan pencapaian pembangunan, tapi
menutup rapat-rapat data tentang berapa banyak rakyat yang tersisih dari
“kemajuan” itu.
Di sini, kegagalan bukan hanya pribadi. Ia kolektif. Ia struktural. Tetapi
anehnya, kegagalan kolektif hampir selalu dialamatkan kembali ke individu. Jika
rakyat miskin, katanya mereka malas. Jika pengangguran tinggi, katanya rakyat
tidak kreatif. Padahal, kegagalan sering lahir dari panggung besar yang penuh
kepalsuan, bukan sekadar dari panggung kecil bernama individu.
Wajah Politik dari Sebuah Kegagalan
Ada kegagalan yang sifatnya personal, jatuh cinta yang
kandas, bisnis kecil yang bangkrut. Tetapi ada pula kegagalan yang jauh lebih
besar: kegagalan sistemik. Dan di sinilah wajah menyebalkan kegagalan
benar-benar terasa.
Negara yang katanya dibangun demi rakyat, sering gagal memenuhi janji
konstitusinya. Pendidikan yang dijanjikan gratis ternyata hanya menambah beban.
Kesehatan yang katanya hak semua orang ternyata hanya ilusi bagi mereka yang
tidak punya uang. Keadilan yang seharusnya buta ternyata masih bisa “melirik”
ke arah dompet tebal.
Dan ironinya, ketika kegagalan negara terjadi, yang dipersalahkan selalu
rakyat. “Rakyat kurang disiplin.” “Rakyat tidak tahu aturan.” “Rakyat salah
memilih.” Seolah-olah rakyat hanyalah murid bodoh di kelas besar bernama
negara, dan pemerintah adalah guru suci yang tidak mungkin salah. Padahal,
justru pemerintah sering kali guru yang paling gagal—tetapi menolak menerima
rapor merahnya sendiri.
Kegagalan sebagai Jalan Sunyi Menuju Kebijaksanaan
Meski wajahnya menyebalkan, ada satu hal yang tak bisa kita
pungkiri: kegagalan adalah jalan sunyi menuju kebijaksanaan. Ia memaksa kita
berhenti, merenung, dan mengubah arah. Tidak ada guru yang lebih efektif
daripada rasa sakit yang ditimbulkannya.
Kegagalan mengajarkan kita kerendahan hati. Ia berkata: “Kau tidak sehebat yang
kau kira.” Ia memaksa kita melihat bahwa dunia tidak selalu tunduk pada logika
atau niat baik. Dunia punya jalannya sendiri, dan kita hanyalah penumpang yang
sesekali diizinkan mengendalikan kemudi.
Di titik ini, kegagalan berhenti menjadi musuh, dan berubah menjadi sahabat
yang jujur. Memang menyebalkan, tetapi seperti obat pahit, justru karena pahit
itulah ia menyembuhkan.
Kesimpulan: Belajar dari Guru yang Dibenci
Kegagalan adalah guru dengan wajah menyebalkan, tetapi
justru itulah yang membuatnya berharga. Jika kesuksesan adalah lagu manis yang
membuat kita mabuk, maka kegagalan adalah alarm keras yang membangunkan kita.
Ia membenturkan kepala kita ke dinding kenyataan, memaksa kita sadar.
Sebuah ironi kehidupan … semua orang ingin sukses, tetapi justru kegagalanlah
yang lebih setia menemani manusia. Ia hadir lebih sering, lebih jujur, dan
lebih membentuk kita.
Mungkin, alih-alih membencinya, kita harus mulai mengucapkan terima kasih pada
kegagalan. Sebab tanpa dia, kita hanya akan hidup dalam delusi kemenangan
palsu. Dan siapa tahu, dari wajah menyebalkan itu, justru kita menemukan
kebijaksanaan yang tidak bisa diajarkan oleh siapa pun.
Komentar
Posting Komentar