Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2025

Layu di Taman Retak

  “Negeri ini sering menjanjikan matahari, tapi yang jatuh ke tanah hanyalah bayangan,dingin, panjang, dan samar tanpa cahaya.”   Hidup manusia selalu dibungkus oleh harapan,ada yang lahir dari cita-cita pribadi, ada pula yang ditanamkan oleh negeri yang katanya “berdaulat.” Kita tumbuh dengan cerita bahwa pendidikan adalah jalan menuju kebebasan, kerja keras adalah tangga menuju kesejahteraan, dan demokrasi adalah jaminan bahwa suara rakyat tak akan dipelintir oleh kursi kekuasaan. Namun kenyataan bagai hujan yang jatuh di tanah tandus: suara rakyat terserap tanpa bekas, cita-cita kering bahkan sebelum sempat berakar. Pemegang kuasaan, alih-alih menjadi payung bagi mereka yang basah kuyup, justru sibuk menjual payung itu ke pasar kekuasaan. Kegagalan bukan hanya milik individu yang tersandung di jalan hidupnya. Kegagalan juga bisa menjadi milik bangsa,sebuah kegagalan kolektif yang diturunkan dari generasi ke generasi. Anak muda berjuang dengan cita-cita, tetapi di ...

Jangan terlalu erat

“Air yang digenggam terlalu erat akan lolos di sela-sela jari, sama seperti kebahagiaan yang semakin menjauh saat kita berusaha memaksanya tinggal.”   Sejak dini, kita disuguhi pelajaran bahwa hidup adalah tentang mengejar cita-cita, harta, kehormatan, bahkan kebahagiaan. Setiap orang dewasa yang kita temui seolah membawa satu pesan seragam: berjuanglah, kejarlah, jangan pernah berhenti. Slogan-slogan itu diulang dalam buku, poster motivasi, bahkan khutbah-khutbah moral yang berkumandang di mimbar. Namun, kehidupan dengan kejam membuktikan sesuatu yang berbeda. Ada saat-saat ketika semua usaha hanya membuat sesuatu semakin jauh. Kita berlari mengejar ketenangan, tetapi yang datang justru kegelisahan. Kita berusaha keras mencari pengakuan, tetapi yang lahir malah prasangka. Ironi pahit ini memperlihatkan wajah ganda dari nasihat hidup yang kita telan bulat-bulat sejak kecil. Para filsuf, mistikus, dan bahkan penyair telah lama menyadari hukum tak tertulis ini: semakin kita b...

Ia hanya berganti wajah dengan suara lembut yang membuai

  “Iblis tidak pernah mati, ia hanya berganti wajah, kadang jadi penguasa, kadang jadi saudagar, kadang jadi suara lembut yang membuai.”   Bayangkan sebuah kitab suci yang biasanya dianggap berisi doa menyejukkan dan aturan hidup penuh kesalehan, tiba-tiba membuka halaman rahasia, bocoran strategi iblis. Ironi terbesar bukanlah karena setan menulis manualnya, melainkan Tuhan sendiri yang menyingkapnya. Seolah kitab itu berbisik: 'Inilah cara setan bekerja, waspadalah, atau jangan-jangan kau tergoda untuk menirunya.' Sebuah manual intelijen ilahi, ditaruh begitu saja di depan mata manusia. Pertanyaannya, untuk apa? Supaya kita mengenali tipu daya? Atau supaya kita tahu bahwa para pejabat yang berlagak suci di podium sebenarnya sedang membaca naskah yang sama dengan iblis,bedanya hanya panggungnya? Strategi pertama: suara. Suara, yang tampak lembut dan tak berbahaya, justru menjadi senjata paling kuno sekaligus paling mematikan. Pedang bisa melukai daging, tapi suara men...